Setelah menggarap Sang Pencerah (2011) serta membantu proses produksi film Habibie & Ainun (2012), Hanung Bramantyo kembali hadir dengan sebuah film biopik yang bercerita tentang kehidupan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Berbeda dengan sosok Ahmad Dahlan – yang kisahnya dihadirkan dalam Sang Pencerah – atau Habibie yang cenderung memiliki kisah kehidupan yang lebih sederhana, perjalanan hidup Soekarno – baik dari sisi pribadi maupun dari kiprahnya di dunia politik – diwarnai begitu banyak intrik yang jelas membuat kisahnya cukup menarik untuk diangkat sebagai sebuah film layar lebar. Sayangnya, banyaknya intrik dalam kehidupan Soekarno itu pula yang kemudian berhasil menjebak Soekarno. Naskah cerita yang ditulis oleh Hanung bersama dengan Ben Sihombing (Cinta di Saku Celana, 2012) seperti terlalu berusaha untuk merangkum kehidupan Soekarno dalam tempo sesingkat-singkatnya – excuse the pun – sehingga membuat Soekarno seringkali kehilangan fokus penceritaan dan gagal untuk bercerita serta menyentuh subyek penceritaannya dengan lebih mendalam.
Penceritaan Soekarno dimulai ketika Soekarno (Ario Bayu) bersama dengan istrinya, Inggrit Ganarsih (Maudy Koesnaedi), dibuang oleh pihak Belanda ke Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dan ke Provinsi Bengkulu akibat pledoinya tentang kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan sebutan Indonesia Menggugat dianggap mengancam keberadaan Belanda di Indonesia. Di Bengkulu, Soekarno istirahat sejenak dari keriuhan dunia politik dan menghabiskan waktunya dengan mengajar para pemuda di provinsi tersebut. Meskipun telah memiliki istri, Soekarno tidak dapat menghindarkan hatinya dari rasa suka terhadap salah satu muridnya, Fatmawati (Tika Bravani). Hal ini jelas kemudian menghasilkan kemelut dalam rumah tangga Soekarno dan istrinya. Di tengah kemelut tersebut, Jepang kemudian berhasil menggeser posisi Belanda dan menduduki tanah Indonesia. Oleh Jepang, Soekarno kemudian dibebaskan dari masa pembuangannya. Ia lantas memilih untuk kembali ke dunia politik dan secara perlahan menyusun rencana untuk mengejar kemerdekaan dari negara yang begitu dicintainya.
Pada awalnya, Soekarno bersikap sangat permisif terhadap kedatangan pihak Jepang di Indonesia – sebuah sikap yang ditentang oleh dua lawan politiknya, Mohammad Hatta (Lukman Sardi) dan Sutan Syahrir (Tanta Ginting). Hatta dan Syahrir bahkan mengingatkan Soekarno bahwa pendudukan Jepang tidak akan kalah bengisnya dengan penjajahan Belanda. Namun, Soekarno sendiri beragumen bahwa Indonesia harus mampu memanfaatkan keberadaan Jepang untuk merebut kemerdekaan mereka sendiri – sebuah argumen yang kemudian berhasil memenangkan hati Hatta. Meskipun banyak dicemooh oleh kelompok pemuda progresif karena dinilai terlalu lemah terhadap Jepang, keyakinan Soekarno dan Hatta tidaklah goyah. Bersama Hatta, Soekarno berupaya mewujudkan cita-citanya mewujudkan kemeredekaan Indonesia.
Seandainya Hanung Bramantyo dan Ben Sihombing mau memilih beberapa konflik dalam kehidupan Soekarno dan mengembangkannya lebih dalam lagi sebagai sebuah presentasi cerita, mungkin alur penceritaan Soekarno akan dapat berjalan lebih efektif. Kehadiran banyaknya konflik dalam penceritaan Soekarno jelas membuat film ini tidak mampu memberikan penggalian yang lebih kuat pada masing-masing konflik. Hasilnya, banyak diantara konflik tersebut yang terkesan tumpang tindih, tersaji dengan kurang matang dan akhirnya membuat Soekarno gagal dalam menjalin hubungan emosional dengan penontonnya. Penonton seperti hanya datang untuk menyaksikan deretan reka ulang berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sang karakter utama tanpa pernah benar-benar dilibatkan untuk dapat merasakan bagaimana perjalanan emosi yang dirasakan sang karakter utama ketika melewati deretan peristiwa tersebut.
Hadirnya banyak konflik dalam jalan penceritaan Soekarno yang dipaparkan dalam durasi 150 menit ini jelas juga menumbuhkan banyaknya kehadiran karakter-karakter dalam jumlah yang cukup besar. Sayangnya, sama dengan kondisi penceritaan yang gagal untuk tersaji secara matang dengan sempurna, karakter-karakter yang muncul dalam alur penceritaan Soekarno juga seringkali hadir tanpa porsi maupun peran penceritaan yang berarti, termasuk beberapa karakter dengan bagian penceritaan yang sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan dengan lebih baik seperti karakter Muhammad Hatta maupun dua karakter istri Soekarno, Inggrit Ganarsih dan Fatmawati. Jika saja naskah ceritaSoekarno dapat tertata dengan lebih sederhana dan efektif, mungkin banyak pemeran film ini yang akan dapat memberikan penampilan yang lebih kuat – dan, tentunya, durasi film juga akan hadir jauh lebih singkat.
Hanung Bramantyo juga sepertinya mengalami kesulitan dalam membagi porsi kisah kehidupan pribadi karakter Soekarno dengan kisah perjuangannya di dunia politik. Seringkali, porsi penceritaan kehidupan pribadi dari karakter Soekarno hadir dalam pengisahan yang terbatas sehingga justru mengganggu keseimbangan alur kisah mengenai perjuangan politik dari karakter Soekarno. Sejujurnya, tidak seperti Habibie & Ainun yang mampu memanfaatkan kisah asmara sang karakter utama untuk mengembangkan potensi drama romansa dari jalan cerita secara keseluruhan, kisah romansa dari karakter Soekarno dalam film ini sama sekali tidak pernah memberikan daya tarik yang kuat. Dipaparkan dengan terlalu sederhana dan sama sekali tidak begitu berarti sehingga dapat dihilangkan begitu saja.
Meskipun dengan kelemahan-kelemahan tersebut, Hanung Bramantyo masih mampu menghadirkan Soekarno dengan kualitas departemen akting dan tata produksi yang jempolan. Meskipun masih terlihat kurang meyakinkan sebagai seorang negarawan, Ario Bayu cukup mampu menghidupkan karakter Soekarno yang ikonik tersebut dengan baik. Bukan sebuah penampilan yang sangat istimewa dan mengesankan namun jelas bukanlah suatu hal yang mengecewakan. Departemen akting Soekarno juga didukung dengan penampilan-penampilan apik dari Maudy Koesnaedi, Lukman Sardi, Tika Bravani, Emir Mahira, Mathias Muchus, Tanta Ginting dan banyak nama pemeran lainnya. Tata produksi Soekarno hadir dengan kualitas yang begitu berkelas. Berkat sokongan departemen kamera dan artistik yang solid, Hanung Bramantyo dapat menghadirkan atmosfer masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia denga sangat meyakinkan. Tata musik arahan Tya Subiakto Satrio masih saja terdengar terlalu berlebihan pada beberapa bagian, namun sama sekali bukanlah sebuah masalah yang berarti bagi kualitas presentasi film secara keseluruhan.
Hadir dengan dukungan penampilan akting dan tata produksi yang cukup solid, Soekarno yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo sayangnya gagal untuk tampil dengan penceritaan yang kuat. Kehadiran banyaknya konflik tanpa pengembangan yang mendalam membuat Soekarno seakan hanya hadir bercerita tanpa pernah benar-benar mau memberikan penontonnya peluang untuk memahami maupun menjalin koneksi emosional dengan jalan cerita. Walaupun tidak sepenuhnya buruk – 30 menit terakhir yang berisi adegan detik-detik menjelang pelaksanaan proklamasi benar-benar mampu dieksekusi dengan baik – Soekarno tetap saja terasa sebagai sebuah presentasi yang megah namun kosong dalam penyampaiannya. Cukup mengecewakan.
Posting Komentar